Minggu, 14 Oktober 2012

The Notion of Sharia-Approved


As creatures of social we need to work together with others because we need to get the welfare, in coöperating of it is a binding agreement which is called by calneh. Here will be explained types of calneh and concept calneh according to syariah

 Jenis-Jenis Akad dalam Kegiatan Usaha Perbankan Syariah

Akad
Keterangan
Mudharabah
Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Musyarakah
Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Murabahah
Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Akad Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati
Salam
Akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).


Istishna’
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri

Ijarah
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.


Qardh
Akad pinjaman dana kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

KONSEP AKAD SYARIAH

A. Hubungan Usaha Menurut Syariah
Kegiatan usaha pada hakikatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu objek tertentu, baik objek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam, misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan akhirnya adalah kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan.
Manusia mempunyai keterbatasan dalam berusaha, oleh karena itu –sesuai dengan fitrahnya — manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
Kerjasama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui ikatan atau Akad Mudharabah maupun pembiayaan usaha bersama melalui Akad Musyarakah.
Kerjasama dalam perdagangan, dimana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan objek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapat bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
Kerjasama dalam penyewaan aset dimana objek transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.

B. Prinsip Akad Ekonomi Syariah
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (mu’amalah) dalam bidang ekonomi menurut syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
Adanya barang (mâl) atau jasa (‘amal) yang menjadi objek transaksi.
Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijâb) bersama dengan kesepakatan menerima (qabûl).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat objek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Objek transaksi menurut syariah dapat meliputi barang (mâl) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya objek transaksi dapat dibedakan kedalam:
1.         Objek yang sudah pasti (‘ayn), yaitu Objek yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya disebut real asset dan berbentuk barang atau jasa.
2.         Objek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu objek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa uang atau surat berharga. Akad mu’amalah dalam bidang ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara prinsip dapat dibagi dalam:
Akad pertukaran tetap, yang lazimnya adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, akad ini umumnya memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi.
Akad penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya adalah kegiatan investasi. Akad ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya tidak dapat memberikan kepastian hasil.
Kegiatan penguasaan sementara, yang lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa. Akad ini umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ‘ayn dengan ‘ayn, ‘ayn dengan dayn dan dayn dengan dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan) maupun secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdin). Transaksi keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdin dengan ghairu naqdin)
Dalam menerapkan akad-akad ini pada transaksi keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 (empat) prinsip dalam perikatan secara syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.         Tidak semua akad bersifat mengikat kedua belah pihak (akad lâzim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak (akad jâiz).
2.         Dalam melaksanakan akad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk memegang kepercayaan secara penuh (âmin) dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhâmin).
3.         Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al-dayn.
4.         Akad yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wa’d) dengan tingkat kewajiban yang berupa sumpah (‘ahd).

C. Akad Mudharabah
Ikatan atau Akad Mudhârabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta, dimana:
1. Pemilik Harta (Shâhib al-Mâl atau Rab-al-Mâl atau Mâlik) hanya menyediakan dana/modal/harta secara penuh (100%) dalam suatu aset atau kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh ikut secara aktif dalam pengelolaan usaha.
2.         Pemilik Usaha bertindak sebagai Mudhârib/’Amil, dimana Pemilik Usaha memberikan jasa (‘amal) mengelola harta secara penuh (100%) dan mandiri (discretionary) dalam bentuk aset atau dalam kegiatan usaha tertentu
3.         Bila Pemilik Usaha harus mengelola usaha dengan tata cara dan ketentuan yang telah disepakati bersama maka disebut Mudhârabah Muqayyadah.
4.         Bila Pemilik Harta telah memiliki kepercayaan penuh pada Pemilik Usaha dan memberi kebebasan kepada Pemilik Usaha dalam menentukan jenis usaha dana tata cara mengelola usaha maka disebut Mudhârabah Muthlaqah.
5.         Pemilik Harta dan Pemilik Usaha mempunyai kesepakatan dalam cara penentuan hasil usaha dimana secara umum hasil usaha berupa laba akan dibagi menurut nisbah dan waktu bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.
6.         Disepakati bahwa Risiko Usaha berupa kerugian menjadi tanggung jawab Pemilik Harta, namun bila ternyata mudhârib tidak amanah, maka mudhârib dapat diminta tanggung jawab atas kerugian yang timbul. . Bila biaya variabel dari kegiatan usaha disepakati merupakan biaya yang sulit diduga, maka mudhârib dapat mengadakan akad jâiz untuk menanggung semua biaya tak terduga tersebut atau menentukan batas maksimum biaya variabel yang dapat dibebankan.
7.         Dalam hal biaya variabel yang sulit diduga tersebut merupakan bagian terbesar dari biaya, maka ketentuan bagi hasil akan mendekati praktik bagi pendapatan.
8.         Berbeda dengan kondisi penyertaan modal yang berlaku umum di Indonesia, dalam Akad Mudhârabah Pemilik Harta berhak sewaktu-waktu menarik hartanya, namun mudhârib diberi waktu untuk mencairkan harta dari usahanya.

D. Akad Musyârakah
Ikatan atau akad musyârakah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha, dimana:
1.         Para pihak bersama-sama memberikan kontribusi baik berupa modal, harta, pinjaman harta, tenaga dan waktu, sehingga tidak ada suatu pihak pun yang akan menjadi Pemilik Harta secara penuh (100%) maupun menjadi mudhârib.
2.         Para pihak setuju untuk berhubungan dalam suatu kerjasama usaha tertentu dan dalam jangka waktu yang disepakati dimana setiap pihak dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain.
3.         Penyertaan atau kontribusi dapat diberikan secara tunai (seketika) atau tidak tunai (tangguh), serta dapat berupa barang (mâl) atau jasa (‘amal) termasuk goodwill.
4.         Penilaian atas penyertaan atau kontribusi yang diberikan oleh para pihak umumnya dilakukan dengan harga pasar, dalam hal ini uang lazim dipakai sebagai alat ukur nilai.
5.         Pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan para pihak dimana umumnya merupakan fungsi dari jumlah kontribusi yang diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat.
6.         Kerjasama usaha dapat berakhir apabila ada beberapa pihak meninggal atau mengundurkan diri.

E. Akad Perdagangan
Akad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan objek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi. Karakteristik fasilitas perdagangan adalah sebagai berikut:
1.         Para pihak mendapat manfaat dari transaksi jual-beli yang dilakukan berdasarkan mekanisme pasar.
2.         Dalam hal fasilitas penundaan berupa penundaan pembayaran, maka bentuk, besar dan waktu pembayaran harus ditentukan secara pasti, sedangkan dalam hal fasilitas berupa penundaan penyerahan maka kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan dari objek transaksi harus ditentukan secara pasti.
3.         Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan pembayaran atas penyerahan barang atau jasa (objek transaksi) yang dilakukan secara seketika dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan pembayaran (murâbahah).
4.         Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (objek transaksi) yang sudah dipastikan keberadaannya atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay’ Salam).
5.         Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (objek transaksi) yang akan diadakan menurut pesanan atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay’ Istishnâ’).
6.         Hasil (manfaat) yang timbul dibagi bersama oleh pihak yang menerima manfaat kepada pihak yang memberikan fasilitas.
7.         Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan pembayaran dapat berupa marjin (penambahan) atas harga transaksi secara tunai pada akad murâbahah (asal kata ribhu, yang berarti keuntungan).
8.         Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan penyerahan objek transaksi dapat berupa marjin (penambahan) atas perkiraan harga jual objek transaksi pada saat penyerahan.
9.         Akibat penundaan pembayaran atau penyerahan objek transaksi tersebut timbul kewajiban dengan nilai tertentu yang harus dipenuhi di masa mendatang.
10.       Pembayaran atas harga objek transaksi dapat disepakati dalam bentuk cicilan.

F. Akad (Transaksi) Ijârah
Akad Ijârah, adalah akad pemberian hak untuk memanfaatkan objek melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijârah mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena ijârah dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Ketentuan umum akad ijârah adalah sebagai berikut:
[Berbeda dengan leasing], disamping dapat berupa suatu barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan), objek dapat pula berupa jasa (‘amal) yang diberikan oleh manusia atau binatang.
Objek, manfaat yang dipinjamkan dan nilai manfaat harus diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh para pihak.
Ruang lingkup pemakaian objek dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Atas pemakaian objek, Pemakai Manfaat (Penyewa) harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan sewa/upah (akar kata ijârah berarti upah).
[Berbeda dengan leasing], secara umum cara pembayaran sewa ditentukan menurut kinerja dari objek, namun dalam hal pemakai ,anfaat (penyewa) yakin akan kinerja dari objek maka pembayaran sewa dapat ditentukan menurut waktu pemakaian [sehingga mirip dengan leasing].
Pemakai Manfaat (Penyewa) wajib menjaga objek ijârah agar manfaat yang dapat diberikan oleh objek tersebut tetap terjaga.
Pemberi Sewa haruslah pemilik mutlak, agen dari pemilik mutlak, penjaga secara alami atau legal dari objek.
Pemberi Sewa (Pemilik Objek Ijârah) dapat mengadakan akad jâiz untuk menjual atau menghibahkan objek ijârah kepada pemakai manfaat (penyewa) menurut ketentuan tertentu pada akhir dari masa sewa.
Dilarang mengadakan akad ijârah dan akad jual-beli secara sekaligus pada waktu yang sama karena akan menimbulkan keraguan akan keberlakuan akad (gharar).
(Dikutip dan dimodifikasi dari beberapa sumber di situs internet dari para penulis yang beragam, dengan bahan utama dari http://media.isnet.org dan http://fossei.org/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=64 untuk bahan kajian Ekonomi Syariah)

Reference:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar