As creatures of social we need to work together with others because we need to get the welfare, in coöperating of it is a binding agreement which is called by calneh. Here will be explained types of calneh and concept calneh according to syariah
Jenis-Jenis Akad dalam Kegiatan Usaha Perbankan Syariah
Akad
|
Keterangan
|
Mudharabah
|
Akad
kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank
Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib,
atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan
usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan
kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
|
Musyarakah
|
Akad
kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang
masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan
akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai
dengan porsi dana masing-masing.
|
Murabahah
|
Akad
Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang
disepakati.
|
Akad
Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang
dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati
|
|
Salam
|
Akad
Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria
dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli
(mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).
|
Istishna’
|
Akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri
|
Ijarah
|
Akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
|
Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
|
Akad
penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu
barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan
kepemilikan barang.
|
Qardh
|
Akad pinjaman
dana kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana
yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
|
KONSEP AKAD SYARIAH
A. Hubungan
Usaha Menurut Syariah
Kegiatan usaha pada hakikatnya adalah kumpulan
transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam,
transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut
suatu objek tertentu, baik objek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu
Khaldun tingkatan kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang
berkaitan dengan hasil sumber daya alam, misalnya pertanian, perikanan dan
pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan hasil
rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan
perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari
hasil sumber daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan
akhirnya adalah kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan
sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya, yang oleh Ibnu Khaldun
disebut sebagai kemewahan.
Manusia mempunyai keterbatasan dalam berusaha, oleh
karena itu –sesuai dengan fitrahnya — manusia harus berusaha mengadakan
kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
Kerjasama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah
satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang timbul
dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa
pembiayaan usaha 100% melalui ikatan atau Akad Mudharabah maupun pembiayaan
usaha bersama melalui Akad Musyarakah.
Kerjasama dalam perdagangan, dimana untuk
meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam
pembayaran maupun penyerahan objek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan
memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapat bagi
hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
Kerjasama dalam penyewaan aset dimana objek
transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.
B. Prinsip
Akad Ekonomi Syariah
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia
(mu’amalah) dalam bidang ekonomi menurut syariah harus memenuhi rukun dan
syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar
terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan.
Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi,
misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan
penerima jasa.
Adanya barang (mâl) atau jasa (‘amal) yang menjadi
objek transaksi.
Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan
menyerahkan (ijâb) bersama dengan kesepakatan menerima (qabûl).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau
segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang
bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap
hukum, syarat objek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas
sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Objek transaksi menurut syariah dapat meliputi
barang (mâl) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan
binatang. Pada prinsipnya objek transaksi dapat dibedakan kedalam:
1. Objek
yang sudah pasti (‘ayn), yaitu Objek yang jelas keberadaannya atau dapat segera
diperoleh manfaatnya. Lazimnya disebut real asset dan berbentuk barang atau
jasa.
2. Objek
yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu objek yang timbul akibat suatu
transaksi yang tidak tunai. Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa
uang atau surat berharga. Akad mu’amalah dalam bidang ekonomi menurut sifat
partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara prinsip dapat
dibagi dalam:
Akad pertukaran tetap, yang lazimnya adalah
kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, akad ini umumnya memberikan
kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi.
Akad penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya
adalah kegiatan investasi. Akad ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam
hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya
tidak dapat memberikan kepastian hasil.
Kegiatan penguasaan sementara, yang lazimnya adalah
kegiatan sewa-menyewa. Akad ini umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang
diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan
atau pencampuran antara ‘ayn dengan ‘ayn, ‘ayn dengan dayn dan dayn dengan
dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara dayn dengan dayn dilarang
kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam
bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap
(perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara
itu, waktu pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara
tunai atau seketika (naqdan) maupun secara tidak tunai atau tangguh (ghairu
naqdin). Transaksi keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara
tidak tunai atau tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah
suatu transaksi dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau
tangguh (ghairu naqdin dengan ghairu naqdin)
Dalam menerapkan akad-akad ini pada transaksi
keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 (empat) prinsip
dalam perikatan secara syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tidak
semua akad bersifat mengikat kedua belah pihak (akad lâzim), karena ada kontrak
yang hanya mengikat satu pihak (akad jâiz).
2. Dalam
melaksanakan akad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan
kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk
memegang kepercayaan secara penuh (âmin) dengan pihak yang masih perlu memenuhi
kewajiban sebagai penjamin (dhâmin).
3.
Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui transaksi penjualan sehingga
menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al-dayn.
4. Akad
yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wa’d) dengan
tingkat kewajiban yang berupa sumpah (‘ahd).
C. Akad
Mudharabah
Ikatan atau Akad Mudhârabah pada hakikatnya adalah
ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik
Usaha dengan Pemilik Harta, dimana:
1. Pemilik Harta (Shâhib al-Mâl atau Rab-al-Mâl
atau Mâlik) hanya menyediakan dana/modal/harta secara penuh (100%) dalam suatu
aset atau kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh ikut secara aktif dalam
pengelolaan usaha.
2.
Pemilik Usaha bertindak sebagai Mudhârib/’Amil, dimana Pemilik Usaha memberikan
jasa (‘amal) mengelola harta secara penuh (100%) dan mandiri (discretionary)
dalam bentuk aset atau dalam kegiatan usaha tertentu
3.
Bila Pemilik Usaha harus mengelola usaha dengan tata cara dan ketentuan yang
telah disepakati bersama maka disebut Mudhârabah Muqayyadah.
4.
Bila Pemilik Harta telah memiliki kepercayaan penuh pada Pemilik Usaha dan
memberi kebebasan kepada Pemilik Usaha dalam menentukan jenis usaha dana tata
cara mengelola usaha maka disebut Mudhârabah Muthlaqah.
5.
Pemilik Harta dan Pemilik Usaha mempunyai kesepakatan dalam cara penentuan
hasil usaha dimana secara umum hasil usaha berupa laba akan dibagi menurut
nisbah dan waktu bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.
6.
Disepakati bahwa Risiko Usaha berupa kerugian menjadi tanggung jawab Pemilik
Harta, namun bila ternyata mudhârib tidak amanah, maka mudhârib dapat diminta
tanggung jawab atas kerugian yang timbul. . Bila biaya variabel dari kegiatan
usaha disepakati merupakan biaya yang sulit diduga, maka mudhârib dapat
mengadakan akad jâiz untuk menanggung semua biaya tak terduga tersebut atau
menentukan batas maksimum biaya variabel yang dapat dibebankan.
7.
Dalam hal biaya variabel yang sulit diduga tersebut merupakan bagian terbesar
dari biaya, maka ketentuan bagi hasil akan mendekati praktik bagi pendapatan.
8.
Berbeda dengan kondisi penyertaan modal yang berlaku umum di Indonesia, dalam
Akad Mudhârabah Pemilik Harta berhak sewaktu-waktu menarik hartanya, namun
mudhârib diberi waktu untuk mencairkan harta dari usahanya.
D. Akad
Musyârakah
Ikatan atau akad musyârakah pada hakikatnya adalah
ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama
menjadi Pemilik Usaha, dimana:
1.
Para pihak bersama-sama memberikan kontribusi baik berupa modal, harta,
pinjaman harta, tenaga dan waktu, sehingga tidak ada suatu pihak pun yang akan
menjadi Pemilik Harta secara penuh (100%) maupun menjadi mudhârib.
2.
Para pihak setuju untuk berhubungan dalam suatu kerjasama usaha tertentu dan
dalam jangka waktu yang disepakati dimana setiap pihak dapat mengalihkan
penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain.
3.
Penyertaan atau kontribusi dapat diberikan secara tunai (seketika) atau tidak
tunai (tangguh), serta dapat berupa barang (mâl) atau jasa (‘amal) termasuk
goodwill.
4.
Penilaian atas penyertaan atau kontribusi yang diberikan oleh para pihak
umumnya dilakukan dengan harga pasar, dalam hal ini uang lazim dipakai sebagai
alat ukur nilai.
5.
Pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan para pihak dimana umumnya
merupakan fungsi dari jumlah kontribusi yang diberikan oleh masing-masing pihak
yang terlibat.
6.
Kerjasama usaha dapat berakhir apabila ada beberapa pihak meninggal atau
mengundurkan diri.
E. Akad
Perdagangan
Akad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran
yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak
memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan objek sehingga
pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika
pada saat transaksi. Karakteristik fasilitas perdagangan adalah sebagai berikut:
1.
Para pihak mendapat manfaat dari transaksi jual-beli yang dilakukan berdasarkan
mekanisme pasar.
2.
Dalam hal fasilitas penundaan berupa penundaan pembayaran, maka bentuk, besar
dan waktu pembayaran harus ditentukan secara pasti, sedangkan dalam hal
fasilitas berupa penundaan penyerahan maka kuantitas, kualitas, harga dan waktu
penyerahan dari objek transaksi harus ditentukan secara pasti.
3.
Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan pembayaran atas penyerahan barang
atau jasa (objek transaksi) yang dilakukan secara seketika dimana transaksi
tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan
pembayaran (murâbahah).
4.
Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (objek transaksi)
yang sudah dipastikan keberadaannya atas pembayaran secara tunai dimana
transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas
penundaan penyerahan (Bay’ Salam).
5.
Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (objek
transaksi) yang akan diadakan menurut pesanan atas pembayaran secara tunai
dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima
fasilitas penundaan penyerahan (Bay’ Istishnâ’).
6.
Hasil (manfaat) yang timbul dibagi bersama oleh pihak yang menerima manfaat
kepada pihak yang memberikan fasilitas.
7.
Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan
pembayaran dapat berupa marjin (penambahan) atas harga transaksi secara tunai
pada akad murâbahah (asal kata ribhu, yang berarti keuntungan).
8.
Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan
penyerahan objek transaksi dapat berupa marjin (penambahan) atas perkiraan
harga jual objek transaksi pada saat penyerahan.
9.
Akibat penundaan pembayaran atau penyerahan objek transaksi tersebut timbul
kewajiban dengan nilai tertentu yang harus dipenuhi di masa mendatang.
10. Pembayaran
atas harga objek transaksi dapat disepakati dalam bentuk cicilan.
F. Akad (Transaksi) Ijârah
Akad Ijârah, adalah akad pemberian hak untuk
memanfaatkan objek melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan
manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijârah mirip
dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena ijârah
dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan
kepemilikan. Ketentuan umum akad ijârah adalah sebagai berikut:
[Berbeda dengan leasing], disamping dapat berupa
suatu barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan),
objek dapat pula berupa jasa (‘amal) yang diberikan oleh manusia atau binatang.
Objek, manfaat yang dipinjamkan dan nilai manfaat
harus diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh para pihak.
Ruang lingkup pemakaian objek dan jangka waktu
pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Atas pemakaian objek, Pemakai Manfaat (Penyewa)
harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan sewa/upah
(akar kata ijârah berarti upah).
[Berbeda dengan leasing], secara umum cara
pembayaran sewa ditentukan menurut kinerja dari objek, namun dalam hal pemakai
,anfaat (penyewa) yakin akan kinerja dari objek maka pembayaran sewa dapat
ditentukan menurut waktu pemakaian [sehingga mirip dengan leasing].
Pemakai Manfaat (Penyewa) wajib menjaga objek
ijârah agar manfaat yang dapat diberikan oleh objek tersebut tetap terjaga.
Pemberi Sewa haruslah pemilik mutlak, agen dari
pemilik mutlak, penjaga secara alami atau legal dari objek.
Pemberi Sewa (Pemilik Objek Ijârah) dapat
mengadakan akad jâiz untuk menjual atau menghibahkan objek ijârah kepada
pemakai manfaat (penyewa) menurut ketentuan tertentu pada akhir dari masa sewa.
Dilarang mengadakan akad ijârah dan akad jual-beli
secara sekaligus pada waktu yang sama karena akan menimbulkan keraguan akan
keberlakuan akad (gharar).
(Dikutip dan dimodifikasi dari beberapa sumber di
situs internet dari para penulis yang beragam, dengan bahan utama dari
http://media.isnet.org dan http://fossei.org/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=64
untuk bahan kajian Ekonomi Syariah)
Reference: