Minggu, 14 Oktober 2012

The Notion of Sharia-Approved


As creatures of social we need to work together with others because we need to get the welfare, in coöperating of it is a binding agreement which is called by calneh. Here will be explained types of calneh and concept calneh according to syariah

 Jenis-Jenis Akad dalam Kegiatan Usaha Perbankan Syariah

Akad
Keterangan
Mudharabah
Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Musyarakah
Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.
Murabahah
Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Akad Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati
Salam
Akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).


Istishna’
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri

Ijarah
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.


Qardh
Akad pinjaman dana kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

KONSEP AKAD SYARIAH

A. Hubungan Usaha Menurut Syariah
Kegiatan usaha pada hakikatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu objek tertentu, baik objek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam, misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan akhirnya adalah kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan.
Manusia mempunyai keterbatasan dalam berusaha, oleh karena itu –sesuai dengan fitrahnya — manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
Kerjasama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui ikatan atau Akad Mudharabah maupun pembiayaan usaha bersama melalui Akad Musyarakah.
Kerjasama dalam perdagangan, dimana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan objek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapat bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
Kerjasama dalam penyewaan aset dimana objek transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.

B. Prinsip Akad Ekonomi Syariah
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (mu’amalah) dalam bidang ekonomi menurut syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
Adanya barang (mâl) atau jasa (‘amal) yang menjadi objek transaksi.
Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijâb) bersama dengan kesepakatan menerima (qabûl).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat objek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Objek transaksi menurut syariah dapat meliputi barang (mâl) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya objek transaksi dapat dibedakan kedalam:
1.         Objek yang sudah pasti (‘ayn), yaitu Objek yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya disebut real asset dan berbentuk barang atau jasa.
2.         Objek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu objek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa uang atau surat berharga. Akad mu’amalah dalam bidang ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara prinsip dapat dibagi dalam:
Akad pertukaran tetap, yang lazimnya adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, akad ini umumnya memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi.
Akad penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya adalah kegiatan investasi. Akad ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya tidak dapat memberikan kepastian hasil.
Kegiatan penguasaan sementara, yang lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa. Akad ini umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ‘ayn dengan ‘ayn, ‘ayn dengan dayn dan dayn dengan dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan) maupun secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdin). Transaksi keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdin dengan ghairu naqdin)
Dalam menerapkan akad-akad ini pada transaksi keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 (empat) prinsip dalam perikatan secara syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.         Tidak semua akad bersifat mengikat kedua belah pihak (akad lâzim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak (akad jâiz).
2.         Dalam melaksanakan akad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk memegang kepercayaan secara penuh (âmin) dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhâmin).
3.         Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al-dayn.
4.         Akad yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wa’d) dengan tingkat kewajiban yang berupa sumpah (‘ahd).

C. Akad Mudharabah
Ikatan atau Akad Mudhârabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta, dimana:
1. Pemilik Harta (Shâhib al-Mâl atau Rab-al-Mâl atau Mâlik) hanya menyediakan dana/modal/harta secara penuh (100%) dalam suatu aset atau kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh ikut secara aktif dalam pengelolaan usaha.
2.         Pemilik Usaha bertindak sebagai Mudhârib/’Amil, dimana Pemilik Usaha memberikan jasa (‘amal) mengelola harta secara penuh (100%) dan mandiri (discretionary) dalam bentuk aset atau dalam kegiatan usaha tertentu
3.         Bila Pemilik Usaha harus mengelola usaha dengan tata cara dan ketentuan yang telah disepakati bersama maka disebut Mudhârabah Muqayyadah.
4.         Bila Pemilik Harta telah memiliki kepercayaan penuh pada Pemilik Usaha dan memberi kebebasan kepada Pemilik Usaha dalam menentukan jenis usaha dana tata cara mengelola usaha maka disebut Mudhârabah Muthlaqah.
5.         Pemilik Harta dan Pemilik Usaha mempunyai kesepakatan dalam cara penentuan hasil usaha dimana secara umum hasil usaha berupa laba akan dibagi menurut nisbah dan waktu bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.
6.         Disepakati bahwa Risiko Usaha berupa kerugian menjadi tanggung jawab Pemilik Harta, namun bila ternyata mudhârib tidak amanah, maka mudhârib dapat diminta tanggung jawab atas kerugian yang timbul. . Bila biaya variabel dari kegiatan usaha disepakati merupakan biaya yang sulit diduga, maka mudhârib dapat mengadakan akad jâiz untuk menanggung semua biaya tak terduga tersebut atau menentukan batas maksimum biaya variabel yang dapat dibebankan.
7.         Dalam hal biaya variabel yang sulit diduga tersebut merupakan bagian terbesar dari biaya, maka ketentuan bagi hasil akan mendekati praktik bagi pendapatan.
8.         Berbeda dengan kondisi penyertaan modal yang berlaku umum di Indonesia, dalam Akad Mudhârabah Pemilik Harta berhak sewaktu-waktu menarik hartanya, namun mudhârib diberi waktu untuk mencairkan harta dari usahanya.

D. Akad Musyârakah
Ikatan atau akad musyârakah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha, dimana:
1.         Para pihak bersama-sama memberikan kontribusi baik berupa modal, harta, pinjaman harta, tenaga dan waktu, sehingga tidak ada suatu pihak pun yang akan menjadi Pemilik Harta secara penuh (100%) maupun menjadi mudhârib.
2.         Para pihak setuju untuk berhubungan dalam suatu kerjasama usaha tertentu dan dalam jangka waktu yang disepakati dimana setiap pihak dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain.
3.         Penyertaan atau kontribusi dapat diberikan secara tunai (seketika) atau tidak tunai (tangguh), serta dapat berupa barang (mâl) atau jasa (‘amal) termasuk goodwill.
4.         Penilaian atas penyertaan atau kontribusi yang diberikan oleh para pihak umumnya dilakukan dengan harga pasar, dalam hal ini uang lazim dipakai sebagai alat ukur nilai.
5.         Pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan para pihak dimana umumnya merupakan fungsi dari jumlah kontribusi yang diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat.
6.         Kerjasama usaha dapat berakhir apabila ada beberapa pihak meninggal atau mengundurkan diri.

E. Akad Perdagangan
Akad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan objek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi. Karakteristik fasilitas perdagangan adalah sebagai berikut:
1.         Para pihak mendapat manfaat dari transaksi jual-beli yang dilakukan berdasarkan mekanisme pasar.
2.         Dalam hal fasilitas penundaan berupa penundaan pembayaran, maka bentuk, besar dan waktu pembayaran harus ditentukan secara pasti, sedangkan dalam hal fasilitas berupa penundaan penyerahan maka kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan dari objek transaksi harus ditentukan secara pasti.
3.         Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan pembayaran atas penyerahan barang atau jasa (objek transaksi) yang dilakukan secara seketika dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan pembayaran (murâbahah).
4.         Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (objek transaksi) yang sudah dipastikan keberadaannya atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay’ Salam).
5.         Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (objek transaksi) yang akan diadakan menurut pesanan atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay’ Istishnâ’).
6.         Hasil (manfaat) yang timbul dibagi bersama oleh pihak yang menerima manfaat kepada pihak yang memberikan fasilitas.
7.         Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan pembayaran dapat berupa marjin (penambahan) atas harga transaksi secara tunai pada akad murâbahah (asal kata ribhu, yang berarti keuntungan).
8.         Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan penyerahan objek transaksi dapat berupa marjin (penambahan) atas perkiraan harga jual objek transaksi pada saat penyerahan.
9.         Akibat penundaan pembayaran atau penyerahan objek transaksi tersebut timbul kewajiban dengan nilai tertentu yang harus dipenuhi di masa mendatang.
10.       Pembayaran atas harga objek transaksi dapat disepakati dalam bentuk cicilan.

F. Akad (Transaksi) Ijârah
Akad Ijârah, adalah akad pemberian hak untuk memanfaatkan objek melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijârah mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena ijârah dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Ketentuan umum akad ijârah adalah sebagai berikut:
[Berbeda dengan leasing], disamping dapat berupa suatu barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan), objek dapat pula berupa jasa (‘amal) yang diberikan oleh manusia atau binatang.
Objek, manfaat yang dipinjamkan dan nilai manfaat harus diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh para pihak.
Ruang lingkup pemakaian objek dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Atas pemakaian objek, Pemakai Manfaat (Penyewa) harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan sewa/upah (akar kata ijârah berarti upah).
[Berbeda dengan leasing], secara umum cara pembayaran sewa ditentukan menurut kinerja dari objek, namun dalam hal pemakai ,anfaat (penyewa) yakin akan kinerja dari objek maka pembayaran sewa dapat ditentukan menurut waktu pemakaian [sehingga mirip dengan leasing].
Pemakai Manfaat (Penyewa) wajib menjaga objek ijârah agar manfaat yang dapat diberikan oleh objek tersebut tetap terjaga.
Pemberi Sewa haruslah pemilik mutlak, agen dari pemilik mutlak, penjaga secara alami atau legal dari objek.
Pemberi Sewa (Pemilik Objek Ijârah) dapat mengadakan akad jâiz untuk menjual atau menghibahkan objek ijârah kepada pemakai manfaat (penyewa) menurut ketentuan tertentu pada akhir dari masa sewa.
Dilarang mengadakan akad ijârah dan akad jual-beli secara sekaligus pada waktu yang sama karena akan menimbulkan keraguan akan keberlakuan akad (gharar).
(Dikutip dan dimodifikasi dari beberapa sumber di situs internet dari para penulis yang beragam, dengan bahan utama dari http://media.isnet.org dan http://fossei.org/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=64 untuk bahan kajian Ekonomi Syariah)

Reference:

Sharia Business

Minggu, 14 Oktober 2012


                                                   What Is Sharia Business Prosess?

In the economy of islam often sounded said ' syariah '? ? what ' s that? in this article i will contain about understanding the business of syariah the basic principle and ethical business syariah habitude business syariah and calneh in business management. To explain several issues was let us take joint
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169). Dengan mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa depan.

PRINSIP DASAR DAN ETIKA DALAM BISNIS SYARI’AH
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).[1]
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima adalah benovelence atau dalam istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan.[2] Ihsan adalah kehendak untuk melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan. Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.

Etika bisnis syari’ah[3]
Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan. Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika bisnis syariah-.

CIRI KHAS BISNIS SYARI’AH
Bisnis syariah merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Sebenarnya bentuk bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya, yaitu upaya memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen. Namun aspek syariah inilah yang membedakannya dengan bisnis pada umumnya. Sehingga bisnis syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:
1. Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).
2. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram. Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.
AKAD DALAM BISNIS SYARIAH
Dalam setiap transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat penting. Akad ibaratnya sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya terpisah antara yang sah dan tidak. Secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan dalam pe-ngertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan sejenisnya adalah akad atau perjanjian dan kesepakatan. Setiap hal yang diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya, disebut sebagai akad.

Rukun-Rukun Akad/Perjanjian
Akad memiliki tiga rukun, yaitu: Adanya dua orang atau lebih yang saling terikat dengan akad, adanya sesuatu yang diikat dengan akad, serta pengucapan akad/perjanjian tersebut.[5]
1. Dua Pihak atau lebih yang Saling Terikat Dengan Akad
Dua orang atau lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam per-janjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kemam-puan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal berikut:
Pertama: Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
Kedua: Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
Kemudian ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
2. Sesuatu yang Diikat Dengan Akad
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
· Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diber-lakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
· Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. (Yang perlu diingat di sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan zaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern kita sekarang ini, sampah dapat digunakan dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang rongsokan) Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
· Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga, dan itu dilarang.
· Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
· Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual lang-sung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salm, di mana seorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan ha-rus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ أَسْلَمَ فَلْيُسْلِمْ فيِ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salm hendaknya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”

KERJASAMA (SYIRKAH) DALAM BISNIS SYARI’AH
Bisnis syari’ah sebagaimana bisnis pada umumnya yang dibangun atas kerjasama berbagai pihak dalam mengembangkan usahanya. Namun kerjasama dalam bisnis syari’ah tidak hanya dibangun atas dasar keuntungan dan pertimbangan aspek duniawiyah saja, namun juga dibangun atas dasar keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh melalui implementasi prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama bisnis.
Kerjasama dalam Islam disebut dengan istilah syirkah. Kata syirkah dalam bahasa Arab secara terminologis berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).[6] Sedangkan secara etimologis, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[7] Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Kesimpulan :
Syariah of business process is a process that implemented the system of share results, did not recognize the existence of usury, divide the results of an advantage in accordance with an agreement the beginning, would not allow the production of illicit goods and business always follows the rules of islam

Refence :
Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul International, 1994.
Beekun, Rafik Isa, Islamic Business Ethics, Virginia: international institute of Islamic thought, 1997
M. Ridwan, Berbisnis dengan Etika Syari’ah, http://sahrazeida.wordpress.com/ 2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
Laspriana, Bey, Bisnis Syari’ah antara Realita dan Idealita, http://wirausaha.com diakses tanggal 01 juni 2008.
Al-Mushlih, Abdullah & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha, http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html, diakses 15 mei 2008.

Minggu, 16 September 2012

Business Process

Pengertian Bisnis Proses


In any transaction always relating to what is called business, of business process is the basis of a company to build their business and become the foundation in cooperating with other companies, here will be discussed about understanding of business process, characteristic of business process, type of business process, steps make of business.
A business process change could be recognized as a form of continuous organizational change in which companies change and improve their business models, strategies and goals. To realize the change, most companies use different business process modelling/management methods and tools, which integrate components for static and dynamic modelling, measuring and monitoring the performance of the processes, as well as enabling the transformation of business process diagrams into tailor-made applications supporting the execution of workflows. The focus of this paper is to discuss the application of business process oriented concepts in different areas, depending on different projects\' objectives and goals

Proses bisnis adalah suatu kumpulan pekerjaan yang saling terkait untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Suatu proses bisnis dapat dipecah menjadi beberapa subproses yang masing-masing memiliki atribut sendiri tapi juga berkontribusi untuk mencapai tujuan dari superprosesnya. Analisis proses bisnis umumnya melibatkan pemetaan proses dan subproses di dalamnya hingga tingkatan aktivitas atau kegiatan.

Sering kali pemilik proses, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap kinerja dan pengembangan berkesinambungan dari proses, juga dianggap sebagai suatu karakteristik proses bisnis.
Bisnis Proses mungkin sesuatu yang sudah umum dalam perusahaan, Tujuan dari bisnis proses adalah untuk meningkatkan efektifitas dan Efisiensi dalam perusahaan. Dan tentunya berujung pada meningkatnya persaingan terhadap kompetitior dan berakhir pada meningkatnya Bisnis sebuah perusahaan.
Seiring berkembangnya persaingan dalam dunia bisnis, setiap perusahaan harus cepat dalam merespon. Baik terhadap kompetitor maupun pelanggan.
Hal ini tentunya akan berimbas kepada bisnis proses yang akan semakin komplek dan memakan banyak resource. Padahal untuk membuat desain bisnis proses saja bisa memakan waktu berbulan-bulan. Hal ini sangat tidak efisien. Sementara pelanggan tidak bisa menunggu.

Karakteristik proses bisnis Beberapa karakteristik umum yang dianggap harus dimiliki suatu proses bisnis adalah:
  1. Definitif: Suatu proses bisnis harus memiliki batasan, masukan, serta keluaran yang jelas.
  2. Urutan: Suatu proses bisnis harus terdiri dari aktivitas yang berurut sesuai waktu dan ruang.
  3. Pelanggan: Suatu proses bisnis harus mempunyai penerima hasil proses.
  4. Nilai tambah: Transformasi yang terjadi dalam proses harus memberikan nilai tambah pada penerima.
  5. Keterkaitan: Suatu proses tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terkait dalam suatu struktur organisasi.
  6. Fungsi silang: Suatu proses umumnya, walaupun tidak harus, mencakup beberapa fungsi.
Tipe proses bisnis
Terdapat tiga jenis proses bisnis:
  1. Proses manajemen, yakni proses yang mengendalikan operasional dari sebuah sistem. Contohnya semisal Manajemen Strategis
  2. Proses operasional, yakni proses yang meliputi bisnis inti dan menciptakan aliran nilai utama. Contohnya semisal proses pembelian, manufaktur, pengiklanan dan pemasaran, dan penjualan.
  3. Proses pendukung, yang mendukung proses inti. Contohnya semisal akunting, rekruitmen, pusat bantuan.
Langkah-langkah membuat proses bisnis
Langkah-langkah sebagai berikut :
1.Mencatat dan memperhatikan apa yang dilakukan sekarang
2.Mengukur proses berdasarkan apa yang ddikehendaki oleh pasar
3.Melakukan proses kembali berdasarkan kebutuhan pasar
4.Mengukur hasil dengan proses yang baru, yang telah dicapai berdasarkanasumsi kehendak pasar
5.Mencatat serta menliti perbaikan yang telah dilakukan.
6.Selanjutnya lingkaran tindakan ini diulang-ulang lagi sampai dicapai titik kepuasan pasar.

Banyak perusahaan yang menggunakan proses bisnis yang berbeda berorientasi ( bpo ) metode dan alat, yang mengintegrasikan komponen untuk statis dan dinamis modelling dan mengukur kinerja proses, serta komponen untuk bisnis proses memantau, eksekusi dan manajemen. Fokus bagian ini adalah two-fold: di satu sisi itu adalah sebuah tinjauan literatur pada situasi proses bisnis berorientasi konsep dan penerapan praktis mereka di berbagai daerah. Di sisi lain, ini adalah rangkuman fitur utama proses bisnis modelling dan pengelolaan peralatan, menekankan saat ini masalah dan kelemahan alat ini.

Pengelolaan proses bisnis harus memiliki lingkungan formal foundation, menyediakan cara yang terstruktur untuk mengidentifikasi dan menangkap semua informasi, hubungan dan bisnis peraturan yang membuat bisnis proses ( kovacic et al. , 2003 ). Konsep ini harus menjamin adanya standarisasi proses bisnis modelling notasi dan harus memungkinkan ekspor proses bisnis model untuk implementasi platform, seperti sistem pengelolaan proses bisnis. Dua baru yang diusulkan standar untuk layanan web komposisi, bpel4ws dan bpml, memberikan sebuah kemungkinan kode generasi dengan menggunakan notasi grafis bisnis proses ( bpmn ). Upaya yang juga telah difokuskan pada menciptakan xml bisnis generik bahasa yang menggabungkan bpm mesin, sementara bpel telah menjadi standar untuk mengelola web-based proses. Namun, ketidakmampuan untuk menerjemahkan model bisnis ke dalam proses dieksekusi model tepat dan tanpa ambiguitasm masih tetap menjadi permasalahan yang sangat serius ( kovacic, 2004; van der aalst et al. , 2003; miers, harmon, 2005 ). Masalah ini diharapkan dapat dipecahkan oleh para produser proses bisnis manajemen alat menggunakan pendekatan rule-transformation yang tepat dan memperkenalkan aturan repositori.


REFERENSI:
http://www.scribd.com/doc/51883047/1/PENGERTIAN-DAN-RUANG-LINGKUP-PROSES-BISNIS
http://e-resources.pnri.go.id/index.php?option=com_library&Itemid=53&key=1
Akses pada 15 Oct 2012 pukul 22.19 WIB